BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau DHF
(Dengue Haemoragic Fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus Flavivirus, dan family
Flaviviridae. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes, terutama
Aedes aegypti (infodatin, 2016). Penyakit DBD dapat muncul sepanjang tahun dan
dapat menyerang seluruh kelompok umur. Munculnya penyakit ini berkaitan dengan
kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat (Kemenkes RI, 2016).
Menurut data WHO (2014) penyakit DBD
pertama kali dilaporkan di Asia Tenggara pada tahun 1954 yaitu di Filipina,
selanjutnya menyebar ke berbagai Negara. Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara
yang mengalami wabah DBD, namun sekarang DBD menjadi penyakit endemik pada
lebih dari 100 negara, diantaranya adalah Afrika, Amerika, Mediterania Timur,
Asia Tenggara dan Pasifik Barat memiliki angka tertinggi terjadinya kasus DBD.
Jumlah kasus di Amerika, Asia Tenggara,dan Pasifik Barat telah melewati 1,2
juta kasus di tahun 2008 dan lebih dari 2,3 juta kasus di 2010. Pada tahun 2013
dilaporkan terdapat sebanyak 2,35 juta kasus di Amerika, dimana 37.687 kasus
merupakan DBD berat. Perkembangan kasusu DBD ditingkat global semangkin
meningkat, seperti dilaporkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni dari 980
kasus hampir 100 negara tahun 1954-1959 menjadi 1.016.612 kasus dihampir 60
negara tahun 2000-2009 (WHO, 2014).
Menurut Soedarto (2012) Indonesia adalah daerah edemis
DBD dan mengalami epidemic sekali dalam 4-5 tahun. Faktor lingkungan dengan
banyaknya genangan air bersih dan menjadi sarang nyamuk, mobilitas penduduk
yang tinggi dan cepatnya transportasi antar daerah, menyebabkan sering
terjadinya DBD. Indonesia termasuk dalam salah satu Negara yang edemik DBD
dengan jumlah penderitanya yang terus-menerus bertambah dan penyebarannya
semakin luas.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa
definisi dari DHF ?
2. Apa
etiologi dari DHF ?
3. Apa
patofisiologi dari DHF ?
1.3
Tujuan
Penulisan
1. Dapat
mengetahui definisi DHF.
2. Dapat
mengetahui etiologi DHF.
3. Dapat
mengetahui epidemiologi DHF .
4. Dapat
mengetahui patofisiologi DHF.
5. Dapat
mengetahui patologi DHF.
6. Dapat
mengetahui patogenesis DHF.
7. Dapat
mengetahui manifestasi klinis DHF.
8. Dapat
mengetahui pencegahan DHF.
9. Dapat
mengetahui penatalaksanaan DHF.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi
DHF
Dengue
haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang
dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam
atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam
tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (betina) (Resti,
2014).
DHF
adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegypty dan beberapa nyamuk lain
yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara
efidemik. (PADILA, 2012)
2.2
Etiologi
DHF
1. Virus
Dengue
Virus dengue yang menjadi
penyebab ib=ni termasuk ke dalam arbovirus (arthropodborn virus) group B,
tetapi dari empat tipe yaitu virus dengue tipe 1,2,3 dan 4 dari keempat tipe
virus tersebut di Indonesia dan dapat dibedakan satu dari yang lainnya secara
serologis virus dengue yang termasuk dalam genus flavorivirus ini berdeameter
40 nonometer dapat berkembang biak dengan baik pada berbagai macam kultur
jaringan baik yang berasal dari sel-sel mamalia misalnya sel BHK(Babby Homsster
Kidney) maupun sel-sel Arthropoda misalnya sel aedes Albopictus.
2. Vektor
Virus dengue serotype
1,2,3, dan 4 yang ditularkan melalui vector yaitu nyamuk sedes aegypti, nyamuk
aedes albopictus, aedes polynesisiensis dan beberapa spesies lain yang
merupakan vector yang kurang berperan. Infeksi dengan salah satu serotype yang
menimbulkan antibody seumur hidup terhadap serotype bersangkutan tetapi tidak
ada perlidungan terhadap serotype jenis lainnya. (Arief Mansjoer &
Suprohaita;2000;420)
2.3
Epidemiologi
DHF
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan spektrum
manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock syndrome (DSS), ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae.
albopictus yang terinfeksi. Host
alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus
Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Dalam
50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan
ekspansi geografis ke negaranegara baru dan, dalam dekade ini, dari kota ke
lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis
dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan
Karibia.
Virus dengue
dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah
perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain
Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang
terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat
di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun; diperkirakan 2,5
miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis
DBD yang memungkinkan terinfeksi virus dengue
melalui gigitan nyamuk setempat.
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik
bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada anak
90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di
Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang
terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang
dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah
kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun
2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian
1.187 orang atau case fatality rate (CFR)
0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang
atau CFR 0,89%.
Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk subgenus
Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti
dan Ae. albopictus sebagai vektor primer dan Ae. polynesiensis, Ae.scutellaris
serta Ae (Finlaya) niveus sebagai
vektor sekunder, selain itu juga terjadi penularan transexsual dari nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan
serta penularan transovarial dari
induk nyamuk ke keturunannya. Ada juga penularan virus dengue melalui transfusi darah seperti terjadi di Singapura pada
tahun 2007 yang berasal dari penderita asimptomatik. Dari beberapa cara
penularan virus dengue, yang paling
tinggi adalah penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung
sekitar 8-10 hari, sedangkan inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar
antara 4-6 hari dan diikuti dengan respon imun.
Penelitian di Jepara dan Ujungpandang
menunjukkan bahwa nyamuk Aedes spp.
berhubungan dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di masyarakat; tetapi infeksi tersebut tidak selalu
menyebabkan DBD pada manusia karena masih tergantung pada faktor lain seperti vector capacity, virulensi virus dengue, status kekebalan host dan lain-lain. Vector capacity dipengaruhi oleh
kepadatan nyamuk yang terpengaruh iklim mikro dan makro, frekuensi gigitan per
nyamuk per hari, lamanya siklus gonotropik, umur nyamuk dan lamanya inkubasi
ekstrinsik virus dengue serta
pemilihan Hospes. Frekuensi nyamuk
menggigit manusia, di antaranya dipengaruhi oleh aktivitas manusia; orang yang
diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan lebih banyak digigit nyamuk Ae. aegypti dibandingkan dengan orang
yang lebih aktif, dengan demikian orang yang kurang aktif akan lebih besar
risikonya untuk tertular virus dengue.
Selain itu, frekuensi nyamuk menggigit manusia juga dipengaruhi keberadaan atau
kepadatan manusia; sehingga diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di rumah yang padat penghuninya, akan lebih tinggi
frekuensi menggigitnya terhadap manusia dibanding yang kurang padat. Kekebalan host terhadap infeksi dipengaruhi oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah usia dan status gizi, usia lanjut akan
menurunkan respon imun dan penyerapan gizi. Status status gizi yang salah
satunya dipengaruhi oleh keseimbangan asupan dan penyerapan gizi, khususnya zat
gizi makro yang berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh. Selain zat
gizi makro, disebutkan pula bahwa zat gizi mikro seperti besi dan seng
mempengaruhi respon kekebalan tubuh, apabila terjadi defisiensi salah satu zat
gizi mikro, maka akan merusak sistem imun.
Status gizi adalah keadaan kesehatan
akibat interaksi makanan, tubuh manusia dan lingkungan yang merupakan hasil
interaksi antara zat-zat gizi yang masuk dalam tubuh manusia dan penggunaannya.
Tanda-tanda atau penampilan status gizi dapat dilihat melalui variabel tertentu
[indikator status gizi] seperti berat badan, tinggi badan, dan lain lain. Sumber
lain mengatakan bahwa status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status
keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan [requirement]
oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis: [pertumbuhan fisik, perkembangan,
aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lain lain].
Status gizi sangat berpengaruh terhadap
status kesehatan manusia karena zat gizi mempengaruhi fungsi kinerja berbagai
sistem dalam tubuh. Secara umum berpengaruh pada fungsi vital yaitu kerja otak,
jantung, paru, ginjal, usus; fungsi aktivitas yaitu kerja otot bergaris; fungsi
pertumbuhan yaitu membentuk tulang, otot
& organ lain, pada tahap tumbuh kembang; fungsi immunitas yaitu melindungi
tubuh agar tak mudah sakit; fungsi perawatan jaringan yaitu mengganti sel yang
rusak; serta fungsi cadangan gizi
yaitu persediaan zat gizi menghadapi keadaan darurat.
Penderita DBD yang tercatat selama ini,
tertinggi adalah pada kelompok umur <15 tahun (95%) dan mengalami
pergerseran dengan adanya peningkatan proporsi penderita pada kelompok umur 15
-44 tahun, sedangkan proporsi penderita DBD pada kelompok umur >45 tahun
sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa Timur berkisar 3,64%.
Munculnya kejadian DBD, dikarenakan
penyebab majemuk, artinya munculnya kesakitan karena berbagai faktor yang
saling berinteraksi, diantaranya agent (virus
dengue), host yang rentan serta lingkungan yang memungkinan tumbuh dan
berkembang biaknya nyamuk Aedes spp.
Selain itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi diantaranya kepadatan dan
mobilitas penduduk, kualitas perumahan, jarak antar rumah, pendidikan,
pekerjaan, sikap hidup, golongan umur, suku bangsa, kerentanan terhadap
penyakit, dan lainnya.
2.4
Patofisiologi
DHF
Virus dengue masuk dalam tubuh melalui
gigitan nyamuk aedes daan infeksi pertama kali mungkin memberi gejala sebagai
Dengue Fever (DF). Reaksi tubuh merupakan reaksi yang biasa terlihat sebagai akibat
dari proses viremia seperti demam, nyeri otot dan atau sendi, sakit kepala,
dengan/tanpa rash dan limfa denopati.
Sedangkan DBD biasanya timbul apabila
seseorang telah terinfeksi dengan virus dengue pertama kali, mendaapat infeksi
berulang virus dengue lainnya. Reinfeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi
anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi komplek antibodi (komplek
virus anti bodi) yang tinggi.
Terdapat komplek antigen antibodi dalam
sirkulasi darah mengakibatkan aktivitas sistem komplemen yang berakibat
dilepaskannya mediator anafilatiksin C 3a dan C 5a, dua peptida yang berdaya
melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat yang menyebabkan meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah (plasma-leakage), dan menghilangnya plasma melalui
endotel dinding itu, renjatan yang tidak diatasi secara adekuat akan
menimbulkan anoksia jaringan, asidosis metabolik dan berakhir kematian.
Depresi sumsum tulang mengakibatkan
trombosit kehilangan fungsi agfegaasi dan mengalami metamorfosis, sehingga dimusnahkan
oleh sistem RE dengan akibat terjadi trombositopenia hebat dan pendarahan.
Terjadinya aktivasi faktor hegemon (faktor
XII) dengan akibat akhir terjadinya pembekuan intra vaskuler yang meluas. Dalam
proses aktivitasi ini maka plasminogen akan berubah menjadi plasmin yang
berperan pada pembentukan anafilatoksin dan penghancuran fibrin menjadi Fibrin
Degradation Prodect (FDP).
2.5
Patologi
DHF
Pada autopsi, semua pasien yang telah mati
karena DHF menunjukkan suatu tingkatan hemoragi ; berdasarkan frekuensi,
hemoragi ditemukan pada kulit dan jaringan subkutan, pada mukosa saluran
gastrointestinal, dan pada jantung serta hati. Hemoragi gastrointestinal
mungkin hebat, tetapi tetapi hemoragi subaraknoid atau serebral jarang terjadi.
Efusi serosa dengan kandungan protein tinggi (kebanyakan albumim) umumnya
terdapat pada rongga pleural dan abdomen, tetapi jarang terjadi pada rongga
pericardial.
Mikroskopi cahaya terhadap pembuluh darah
tidak menunjukkan adanya perubahan bermakna pada dinding vaskular. Kapiler dan
venula pada sistem organ terkena dapat menunjukkan perdarahan ekstravaskular
oleh diapedisis dan hemoragi perivascular, dengan infiltrasi perivaskular oleh
limfosit dan sel-sel mononuklear. Adanya morfologis dari pembentukan bekuan
intravaskular di pembuluh darah kecil telah ditemukan pada pasien dengan
perdarahan berat.
Pada kebanyakan kasus fatal, jaringan
limfosit menunjukkan peningkatan aktivitas sistem limfosit-B, dengan
proliferasi aktif sel-sel plasma dan sel-sel limfoblastoid, dan pusat germinal
aktif. Terdapat bukti yang menunjukkan terjadinya proliferasi imunoblas besar
dan pergantian limfosit yang sangat besar. Pergantian limfosit ini
dimanifestasikan oleh reduksi pulps splenik putih, limfositolisis, dan
fagositosis limfositik nyata.
Pada hati, terdapat nekrosis fokal dari
sel-sel hepar, pembengkakan, adanya badan Councilman dan nekrosis hialin dari
sel-sel Kupffer. Proliferasi leukosit monoklulear, dan (jarang terjadi)
leukosit polimorfonukleun, terjadi pada sinusoid dan kadang-kadang pada area
portal. Lesi di hepar secara khas menyerupai 72-96 jam setelah infeksi dengan
virus demam kuning, bila sel parenkim yang rusak terbatas.
Pada autopsi, antigen virus dengue telah
ditemukan terutama dihepar, limpa, timus, nodus limfa, dan sel-sel paru. Virus
juga telah diisolasi pada autopsi dari sumsum tulang, otak, jantung,
ginjal,hati, paru, nodus limfa, dan slauran gastrointestinal.
Pemeriksaan patologis terhadap sumsum
tulang, ginjal, dan kulit telah dilakukan pada pasien yang mengalami DHF
non-fatal. Pada sumsum tulang, tampak depresi semua sel-sel hematopoeitik, yang
secara cepat membaik dengan penurunan demam. Studi pada ginjal telah
menunjukkan tipe glomerulonefritis kompleks-imun yang ringan, yang akan membaik
setelah kira-kira 3 minggu dengan tidak ada perubahan residual. Biopsi terhadap
ruam kulit telah menunjukkan edema perivaskular dari mikrovaskuler termial
papila dermal dan infiltrasi limfosit dan monosit. Fagosit mononuklear pembawa
antigen telah ditemukan pada sekitar edema ini. Deposisi komplemen serum,
immunoglobulin dan fibrinogen pada dinding pembuluh darah juga telah ditemukan.
2.6
Patogenesis
DHF
Ada dua perubahan patofisiologi utama terjadi
pada DHF/DSS. Pertama adalah peningkatan permeabilitas vascular yang
meningkatkan kehilangan plasma dari kompartemen vascular. Keadaan ini
mengakibatkan hemokonsentrasi, tekanan sangat membahayakan. Perubahan kedua
adalah gangguan pada hemostasis yang mencakup perubahan vascular,
trombositopenia, dan koagulopati.
Temuan konstan pada DHF/DSS adalah aktivasi
sistem komplemen, dengan depresi besar kadar C3 dan C5. Mediator yang
meningkatkan permeabilitas vascular dan mekanisme pasti fenomena perdarahan
yang timbul pada infeksi dengue belum teridentidikasi sehingga, diperlukan
studi lebih lanjut. Kompleks imun telah ditemukan pada DHF tetapi peran mereka
belum jelas.
Defek trombosit terjadi baik kualitatif dan
kuantitatif, yaitu beberapa trombosit yang bersirkulasi selama fase akut DHF
mungkin kelelahan (tidak mampu berfungsi normal). Karenanya, meskipun pasien
dengan jumlah trombosit lebih besar dari 100.000 per mm3 mungkin masih
mengalami masa perdarahan yang panjang.
Mekanisme yang dapatmenunjang terjadinya
DHF/DSS adalah peningkatan replica virus dalam makrofag oleh anti bodi
heterotipik. Pada infeksi sekunder dengan virus dari serotype yang berbeda dari
yang menyebabkan infeksi primer, antibody reaktif-silang yang gagal untuk
menetralkan virus dapat meningkatkan jumlah monosit terinfeksi saat kompleks
antibodi-virus dengue masuk kedalam sel ini. Hal ini selanjutnya dapat
mengakibatkan aktivasi reaktif-silang CD4+ dan CD8+ limfosit sitotoksik.
Pelepasan cepat sitokin yang disebabkan oleh aktivasi sel T dan oleh lisis
monosit terinfeksi dimedia oleh limfosit sitotoksik yang dapat mengakibatkan
rembesan plasma dan perdarahan yang terjadi pada DHF.
2.7
Manifestasi
Klinis DHF
Gambaran klinis
yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi antara 13 –
15 hari, rata- rata 2-8 hari. Penderita biasanya mengalami:
a. Deman
akut atau suhu meningkat tiba – tiba (selama 2 – 7 hari)
b. Sering
di sertai menggigil.
c. Perdaran
pada kulit (petekie, ekimosis, hematoma) serta perdarahan lain seperti
epitaksis, hematemesis, hematuria, dan melena.
d. Keluhan
pada saluran pernafasan (batuk, pilek, sakit waktu menelan)
e. Keluhan
pada saluran cerna (mual, muntah, tak nafsu makan, diare, konstipasi)
f. Keluhan
sistem tubuh yang lainnya (nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang dan
sendi, nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati, pegal – pegal pada seluruh tubuh,
kemerahan pada kulit, kemerahan pada muka, pembengkakan sekitar mata, lakrimasi
dan fotopobia, otot – otot sekitar mata sakit bila di sentuh.
g. Hepatomegali,
splenomegali.
2.8
Pencegahan
DHF
Untuk mencegah penyakit DBD, nyamuk
penularnya (Aedes aegypti) harus diberantas sebab vaksin untuk mencegahnya
belum ada. Cara yang tepat dalam pencegahan penyakit DBD adalah dengan
pengendalian vector, yaitu nyamuk aedes aegypti.
Cara yang tepat untuk memberantas
nyamuk aedes aegypti adalah
memberantas jentik-jentiknya di tempat berkembang biaknya.
Cara ini dikenal dengan pemberantasan sarang nyamuk DBD
(PSN-DBD). Oleh karena tempat-tempat
berkembang biaknya terdapat di rumah-rumah dan tempat-tempat umum maka setiap
keluarga harus melaksanakan PSN-DBD secara teratur sekurang-kurangnya seminggu
sekali.
Cara Pencegahan yang dilakukan adalah
sebagai berikut :
1.
Kimia
Dengan cara pemberian abatisasi (abate), pengasapan dan fogging.
2.
Fisik
Dalam sekurang-kurangya seminggu sekali, maka cegahlah dengan cara
3 M plus:
a. Menguras, adalah membersihkan tempat yang sering dijadikan
tempat penampungan air seperti bak mandi, ember air, tempat penampungan air
minum, penampung air lemari es, dan lain-lain.
b.Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan
air seperti drum, kendi, toren air, dan sebagainya.
c. Memanfaatkan
kembali atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki potensi untuk jadi tempat
perkembangbiakan nyamuk penular DBD.
d.
Plus,
adalah segala bentuk kegiatan pencegahan, seperti:
1)
Menaburkan
bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan.
2)
Menggunakan
obat nyamuk atau anti nyamuk.
3)
Menggunakan
kelambu saat tidur.
4)
Memelihara
ikan pemangsa jentik nyamuk.
5)
Menanam
tanaman pengusir nyamuk.
6)
Mengatur
cahaya dan ventilasi dalam rumah.
7)
Menghindari
kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa menjadi tempat istirahat
nyamuk, dan lain-lain.
3. Biologi
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan
jentik (ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14) yaitu agen yang aktif
mengendalikan nyamuk.
2.9
Penatalaksanaan
DHF
Pengderita DHF memerlukan perawatan yang serius
dan bisa berakibat fatal atau kematian jika terlambat diatasi. Oleh karena itu
seharusnya penderita dirawat di rumah sakit (terutama penderita DHF derajat II,
II, IV). Penderita sebaiknya dipisagkan dari pasien penyakit lain dan diruang
yang bebas nyamuk (berkelambu). Penatalaksanaan penderita dengan DHF menurut
Christantie (1995) adalah sebagai berikut :
a. Tirah
baring atau istirahat baring
b. Diet
makan lunak
c. Minum
banyak (2-2,5 liter/ 24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirop dan beri
penderita oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi
penderita DHF.
d. Pemberian
cairan interval (biasanya ringer laktat, NaCl daali) ringer Laktat merupakan
cairan interval yang paling sering digunakan mengandung Na+ 130
mEq/liter Cl 109 mEq/liter dan Ca++ 3mEq/liter.
e. Monitor
tanda – tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi
pasien memburuk, observasi ketat tiap jam.
f. Periksa
Hb, Ht dan trombosit setiap hari.
g. Pemberian
obat antiseptic sebaiknya dari golongan aseteminofen, eukinin atau dipiron
(kolaborasi dengan dokter). Juga pemberian kompres dingin.
h. Monitor
tanda – tanda pendarahan lebih lanjut.
i.
Pemberian antibiotic bila terdapat kekuatiran
infeksi sekunder (kolaborasi dengan dokter)
j.
Monitor tanda – tanda dini renjatan meliputi
keadaan umum, perubahantanda – tanda vital, hasil – hasil pemeriksaan
laboratorium yang memburuk,
k.
Bila timbul kejang dapat diberikan diazepam
(kolaborasi dengan dokter)
Penderita yang mengalami renjatan (DSS) dan
penurunan kesadaran biasanya dirawat di unit perawatan intensif. Pada penderita
DSS, cairan diberikan dengan diguyur dan bila tak Nampak perbaikan, penderita
perlu mendapatkan plasma atau ekspander plasma atau dextran antara 15 – 20
ml/kg BB. Disamping itu penderita mungkin perlu mendapatkan Na- bikarbonas
untuk mengatasi asidosis metabolic.
Pemberian cairan intervena baik berupa plasma
maupun elektrolit (untuk menjaga keseimbangan volume intravascular)
dipertahankan 12 -48 jam setelah renjatan teratasi.
Transfuse darah diberikan penderita yang
mengalami pendarahan yang membahayakan
seperti hementemesis, mellena serta penderitaa yang menunjukan penurunan kadar
HB, HT pada pemeriksaan berkala (curiga adanya pendarahan intraabdominal).
Indikasi pemberiak transfuse pada penderita DHF yaitu jika ada pendarahan yang
jelas secara klinis, dan abdomen yang makin tegang dengan penurunan Hb yang
mencolol. Tujuan pemberian trasnfusi antara lain untuk mempertahankan jumlah
sirkulasi darah, mempertahankan kemampuan pengangkutan oksigen oleh darah.
Pada penatalaksanaan penderita dengan DHF
diperlukan tindakan – tindakan perawatan invasive seperti pemasangan infuse,
pengambilan darah vena dan arteri, kompres dingin, uji turniket dan pemasangan
Naso Gastric Tube (NGT) atau Sonde lambung jika perlu
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat
pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri
sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo
virus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty
(betina) (Resti, 2014).
Gambaran klinis
yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi antara 13 –
15 hari, rata- rata 2-8 hari. Penderita biasanya mengalami:
a. Deman
akut atau suhu meningkat tiba – tiba (selama 2 – 7 hari)
b. Sering
di sertai menggigil.
c. Perdaran
pada kulit (petekie, ekimosis, hematoma) serta perdarahan lain seperti
epitaksis, hematemesis, hematuria, dan melena.
d. Keluhan
pada saluran pernafasan (batuk, pilek, sakit waktu menelan)
e. Keluhan
pada saluran cerna (mual, muntah, tak nafsu makan, diare, konstipasi)
f. Keluhan
sistem tubuh yang lainnya (nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang dan
sendi, nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati, pegal – pegal pada seluruh tubuh,
kemerahan pada kulit, kemerahan pada muka, pembengkakan sekitar mata, lakrimasi
dan fotopobia, otot – otot sekitar mata sakit bila di sentuh.
g.
Hepatomegali,
splenomegali.
Cara Pencegahan yang
dilakukan adalah sebagai berikut :
1.
Kimia
Dengan cara pemberian abatisasi (abate), pengasapan dan fogging.
2.
Fisik
Dalam sekurang-kurangya seminggu sekali, maka cegahlah dengan cara
3 M plus:
e. Menguras, adalah membersihkan tempat yang sering dijadikan
tempat penampungan air seperti bak mandi, ember air, tempat penampungan air
minum, penampung air lemari es, dan lain-lain.
f. Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan
air seperti drum, kendi, toren air, dan sebagainya.
g.Memanfaatkan
kembali atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki potensi untuk jadi tempat
perkembangbiakan nyamuk penular DBD.
h.Plus, adalah segala bentuk kegiatan pencegahan, seperti:
1)
Menaburkan
bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan.
2)
Menggunakan
obat nyamuk atau anti nyamuk.
3)
Menggunakan
kelambu saat tidur.
4)
Memelihara
ikan pemangsa jentik nyamuk.
5)
Menanam
tanaman pengusir nyamuk.
6)
Mengatur
cahaya dan ventilasi dalam rumah.
7)
Menghindari
kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa menjadi tempat istirahat
nyamuk, dan lain-lain.
3.2
Saran
Demikian makalah
yang telah kami susun, semoga dengan makalah ini dapat menambah pengetahuan
serta lebih bisa memahami tentang pokok bahasan makalah ini bagi para
pembacanya dan khususnya bagi mahasiswa yang telah menyusun makalah ini. Semoga
makalh ini dapat bermanfaan bagi semua.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan. EGC. Jakarta.
WHO.
Demam Berdarah Dengue Edisi 2. EGC.
http://www.depkes.go.id/article/view/1602900002/controlling-dhf-with-psn-3m-plus.html.
Diakses 23 April 2018.
Judith, M. W., &
Nancy, R. A. (2012). Diagnosa Keperawatan Nanda NIC NOC. Jakarta:
EGC.
Perry, Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan. EGC. Jakarta.
Suwarsono H. 1997. Berbagai cara pemberantasan jentik Ae. Aegypti. Jakarta : Cermin
Dunia Kedokteran
Comments
Post a Comment