BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Anatomi dan Fisiologi
Organ Eliminasi Fekal
1. Mulut
Saluran ini Secara
mekanis dan kimiawi memecah nutrisi ke ukuran dan bentuk yang sesuai. Semua
organ pencernaan bekerja sama untuk memastikan bahwa masa atau bolus makanan
mencapai daerah absorsi nutrisi dengan aman dan efektif. Pencernaa kimiawi dan
mekanis dimulai dimulut. Gigi mengunyah makanan, memecahnya menjadi berukuran
yang dapat ditelan. Sekresi saliva mengandun enzim, seperti ptyalin, yang
mengawali percernaan unsur – unsur makanan tertentu. Saliva memcairakan dan
melunakan bolus makanan di dalam mulut sehingga lebih mudah ditelan.
2. Esofagus
Begitu makanan memasuki bagian atas esofagus, makanan berjalan melalui
sfringter esofagus bagian atas, yang merupakan otot sirkular, yang mencegah
udara memasuki esofagus dan makanan mengalami refluks ( bergerak ke belakang ) kembali ketenggorokian. Bolus makanan
menelusuri esofagus yang panjangnya kira – kira 25cm. Makanan didorong oleh
gerakan peristaltic lambat yang
dihasilkan oleh kontraksi invonter dan relaksasi otot halus secara bergantiian.
Pada saat bagiam esofagus berkontraksi diatas bolus makanan, otot silkular
dibawah (atau didepan ) bolus berelaksasi. Konstraksi – relaksasi oto halus
yang saling bergantian ini mendorong makanan menuju gelombang.
Dalam 15 detik, lobus makanan bergerak menuruni esofagus dan mencapai
spinter esofagus bagian bawah. Sfingter esofagus bagian bawah terletak diantara
esofagus dan lambung (Tortora, 1989 ). Faktor – faktor yang mempengaruhi
tekakan sfingter esofagus bagian bawah meliputi antacid, yang meminimalkan
refluks, dan nikotin serta makan berlemak, yang menigkatkan refluks.
3.
Lambung
Didalam lambung,
makanan disimpan untuk sementara dan secara mekanis dan kimiawi dipecah untuk
dicerna dan diabsorsi. Lambung menyekresi asam hidroklorida ( HCL ), lender,
enzim pepsin, dan faktor intrinsic. Konsentrasi HCL mempengaruhi keasaman
lambung dan keseimbangan asam – basa tubuh. HCL membantu mencampur dan mencegah
makanan di lambug. Lendir melindungi mukosa lambung dari keasaman dam aktivitas
enzim. Pepsin mencerna protein, walaupun tidak banyak penvernaan yang
berlangsung di lambung. Faktor instrinsik adalah komponen penting yang
dibutuhkan untuk absropsi vitamin B12 di dalam usu dan selanjutnya untuk
pembentukan sel darah darah normal. Kekurangan faktor instrinsik ini
mengakibatkan anemia pernisiosa.
Sebelum makanan meninggalkan lambung, makanan diubah menjadi materi
semicair yang disebut kimus. Kimus lebih mudah dicerna dan diabsorsi daripada
maknan padat. Klien yang sebagian lambungnya diangkat atau yang memiliki
pengosongan lambung yang cepat ( seperti pada gastritis ) dapat mengalami
masalah pencernan yang serius karena makanan tidak dipecah menjadi kimus.
4.
Usus Halus
Selama proses
pencernaan normal, kimus meninggalkan lambung dan memasuki usus halus. Usus
halus merupakan sebuah saluran dengan diameter sekitar 2,5cm dan panjang 6
meter. Usus halus dibagi menjadi 3 bagian: duodenum, jejenum, dan ileum. Kimus
bercampur dengan enzim – enzim pencernaan (misalnya empedu dan amylase) saat
berjalan melalui usus halus. Segmentasi (kontraksi dan relaksasi otot halus
secara bergantian) mengaduk kimus, memecah makanan lebih lanjut untuk dicerna
pada saat kimus bercampur, gerakan peristaltic berikutnya sementara berhenti
sehingga memungkinkan absorpsi. Kimus berjalan perlahan melalui usu halus untuk
memungkinkan absorpsi.
Kebanyakan nutrisi dan elektrolit diabsorpsi di dalam usus halus. Enzim
dari pancreas (misalnya empedu) dan empedu dari kandungan empedu dilepaskan ke
dalam empedu. Enzim di dalam usus halus memecahkan lemak,protein,dan
karbohidrat menjadi unsur-unsur dasar. Nutrisi hamper seluruhnya di diabsorpsi
oleh duodenum dan jejenum. Ileum mengabsorpsi vitamin-vitamin tertentu,zat
besi,dan garam empedu. Apabila fungsi ileum terganggu proses pencernaan akan
mengalami perubahan besar. Inflamsi,reseksi bedah atau obstruksi dapat
menganggu peristaltic,mengurangi area absorpsi,atau menghambat aliran kimus.
5.
Usus besar
Saluran GI bagian bawah disebut usus besar (kolon) karena ukuran diameternya lebih
besar daripada usus halus. Namun panjangnya , yakni 1,5 sampai 1,8 m jauh lebih
pendek.usus dibagi menjadi sekum, kolon ,dan rectum. Usus besar merupakan organ
utama dalam eliminasi fekal.
6.
Sekum
Kimus yang tidak diabsorpsi memasuki sekum
melalui katup ileosikal. Katup ini merupakan lapisan otot sirkular yang
mencegah regurgitasi dan kembalinya
isi kolon ke usus halus.
7.
Kolon
walaupun kimus yang berair memasuki kolon,volume air menurut saat kimus
bergerak di sepanjang kolon. Kolon dibagi menjadi kolon asendens,kolon
tranfersal,kolon desenden, kolon sigmoid.kolon dibangun oleh jaringan otot,
yang memungkinkannya menampung dan mengeliminasi produk buangan dalam jumlah
besar. Kolon memiliki 4 fungsi yang saling
berkaitan:absorpsi,proteksi,sekresi,dan eliminasi.sejumlah volume air, natrium
dan klorida diabsorpsi oleh kolon setiap hari. Pada waktu makanan brgerak
melalui kolon,terjadi kontraksi haustral. Kontraksi ini sama dengan kontraksi
segmental usus halus, tetapi berlangsung lebih lama sampai 5 menit. Kontraksi
membetuk kantung berukuran besar di dinding kolon,menyediakan daerah permukaan
yang luas untuk absorpsi.
Sebanyak 2,5 L air dapat diabsorpsi oleh kolon dalam 24 jam. Rata-rata,
55 mEq natrium dan 23 mEq klorida diabsorpsi setiap hari. Jumlah air yang diabsorpsi
dari kimus bergantung pada kecepatan pergerakan isi kolon. Kimus dalam kondisi
normal bersifat lunak,berbentuk masa,apabila kecepatan kontraksi peristaltik
berlangsung dengan cepat secara abnormal,waktu untuk absorpsi air berkurang
sehingga feses akan menjadi encer. Apabila kontraksi peristaltic melambat, air
akan terus diabsorpsi sehingga terbentuk masa feses yang keras,mengakibatkan
konstipasi.
Kolon melindungi dirinya dengan melepaskan suplai lendir. Lendir dalam
kondisi normal berwarna jernih sampai buram dengan konsistensi berserabut.
Lendir melumasi kolon, mencegah trauma pada dinding bagian dalamnya. Lubrikasi
terutama penting pada ujung distal kolon, tempat isi kolon menjadi lebih kering
dan lebih keras.
Fungsi sekresi kolon membantu keseimbangan asam- basa. Bikarbonat
disekresi untuk mengganti klorida. Sekitar 4 sampai 9 mEq kalium dilepaskan
setiap hari oleh usus besar. Perubahan serius pada fungsi kolon, seperti diare,
dapat mengakinatkan ketidakseimbangan elektrolit.
Akhirnya,kolon mengeliminasi produk buangan dan gas(flatus). Flatus
timbul akibat menelan gas, difusi dari aliran darah ke dalam usus. Dan kerja
bkteri pada karbohidrat yang tidak dapat diabsorspsikan. Fermentasi
karbohidrat(yang terjadi pad kubis dan bawang)menghasilkan gas di dalam
usus,yang dapat menstimulasi peristaltic. Orang dewasa dalam kondisi normal
dengan menghasilkan 400 sampai 700 ml flatus setiap hari.
Kontraksi peristaltic yang lambat dapat menggerakan isi usus ke kolon. Isi
usus adalah stimulus utama untuk takanan pada dinding kolon. Lapisan kolon
merenggang, menstimulasi reflex yang menimbulkan kontraksi. Gerakan peristaltic
masa, mendorong makan yang tidak tercerna menuju rectum. Gerakan ini terjadi
hanya 3- 4 kali sehari, tidak seperti gelombang peristaltis yang sering timbul
dalam usus halus (biasanya terdengar selama auskultasi).
Saat gerakan peristaltic masa terjadi, segment besar kolon berkontraksi
akibat respons reflex gastrokolik dan duodenokolik. Gerakan ini terjadi apabila
lambung atau duodenum terisi makanan. Pengisian makanan ke dalam lambung atau
duodenum ini mencetuskan impuls saraf yang menstimulasi dinding otot kolon.
Gerakan peristaltic masa paling kuat terjadi pada jam setelah makan.
8.
Rectum
Produk buangan yang mencapai bagian
kolon sigmoid,disebut feses. Sigmoid menyimpan feses sampai beberapa saat sebelum defekasi.
Rectum merupakan bagian akhir pada saluran pencernaan. Panjang rectum
bervariasi menurut usia:
Bayi 2,5
sampai 3,8 cm
Toddler 5
cm
Prasekolah 7,5
cm
Anak usia sekolah 10 cm
Dewasa 15
sampai 20 cm
Dalam kondisi normal,rectum tidak berisi feses sampai defekasi. Rektum
dibangun oleh lipatan – lipatan jaringan vertical dan transversal. Setiap
lipatan meningkatkan intraabdomen atau melakukan valsava maneuver. Manuver
Valsalva ialah kontraksi volunteer otot- vertical berisi sebuah arteri dan
lebih dari satu vena. Apabila vena menjadi distensi akibat tekanan selama
mengedam, maka terbentuk hemoroid. Hemoroid dapat membuat proses defekasi
terasa nyeri.
Apabila masa feses atau bergerak ke dalam rectum untuk membuat
dindingnya berdistensi, maka proses defekasi dimulai. Proses ini melibatkan
control volunteer dan control involuenter. Sfingter interna adalah sebuah otot
polos yang dipersarafi oleh system saraf otonom. Saaat rectum mengalami
distensi, saraf sensorik distimulasi dan membawa implus – implus yang
menyebabkan relaksasi sfingter interna, memungkinkan lebih banyak feses yang
memasuki rectum. Pada saat yang sama, impuls bergerk ke otak untuk menciptakan
suatu kesadaran bahwa individu perlu melakukan defekasi.
Saat sfingter interna relaksasi, sfingter eksterna juga relaksasi. Orang
dewasa dan anak-anak yang sudah menjalani toilet training ( pelatihan defekasi
) dapat mengontrol sfingter eksternanya secara volunteer (sadar). Apabila waktu
untuk defekasi tidak tepat, konstriksi otot levator ani membuat anus terturup
dan defekasi tertunda. Pada saat defekasi, sfingter eksterna berelaksasi.
Tekanan untuk mengeluarkan feses dapat dilakukan dengan otot abdomen saat
individu mengeluarkan napas secara paksa, sementara glottis menutup ( menahan
napas saat mengedan ).
2.2
Faktor yang
mempengaruhi eliminasi fekal
1.
Usia
Perubahan dalam tahapan perkembangan yang mempengaruhi status eleminasi
terjadi di sepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki lambung yang kecil dan
lebih sedikit menyekresi enzim pencernaan. Bebrapa makanan, seperti zat pati
yang kompleks, ditoleransi dengan buruk. Makanan melewati saluran pencernaan
dengan cepat karena gerakan peristalitik berlangsung dengan cepat. Bayi tidak
mampu mengontrol defekasi karena kurangnya perkembangan neuromuscular.
Perkembangan ini biasanya tidak terjadi sampai usia 2 sampai 3 tahun.
Pertumbuhan usus besar terjadi sangat pesat selama masa remaja. Sekresi HCl
meningkat, khususnya pada anak laki-laki. Anak remaja biasanya mengonsumsi
makanan dalam jumlah lebih besar.
Sistem GI pada lansia sering mengalami perubahan sehingga merusak proses
pencernaan dan eliminasi. Beberapa perubahan pada saluran GI, yang berlangsung
seiring dengan proses penuaan. Beberapa lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi
sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan dengan baik. Makanan, yang
memasuki saluran GI, hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna karena
jumlah enzim pencernaan di dalam saliva dan volume asam lambung menurun seiring
dengan proses penuaan. Ketidakmampuan untuk mencerna makanan yang mengandung
lemak mencerminkan terjadinya kehilangan enzim lipase.
Lansia yang dirawat di rumah sakit terutama berisiko mengalami perubahan
fungsi usus. Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa terdapat 91% insiden diare
atau konstipasi dalam populasi lansia yang berjumlah 33 orang, yang dirawat di
rumah sakit, dengan usia rata-rata 76 tahun. Selain itu, gerakan peristaltic
menurun seiring dengan peningkatan usia dan melambatnya pengosongan esofagus.
Pengosongan esofagus yang melambat dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dibagian
epigaster abdomen. Materi pengabsorpsi pada mukosa usus berubah, menyebabkan
protein, vitamin, dan mineral berkurang. Lansia juga kehilangan tonus otot pada
otot dasar perineum dan svingter anus. Walaupun integritas svingter eksterna
tetap utuh, lansia mungkin mengalami kesulitan dalam mengontrol pengeluaran
feses. Beberapa lansia kurang menyadari kebutuhannya untuk berdefekasi akibat
melambatnya impuls saraf. Sehingga mereka cenderung mengalami konstipasi.
2.
Diet
Asupan makanan setiap
hari secara teratur membantu mempertahankan pola peristaltic yang teratur di
dalam kolon. Makanan yang dikonsumsi individu mempengaruhi eliminasi. Serat,
residu makanan yang tidak dapat dicerna, memungkinkan terbentuknya masa dalam
materi feses. Makanan pembentuk masa mengabsorpsi cairan sehingga meningkatkan
masa feses. Dinding usus teregang, menciptakan gerakan peristaltic dan
menimbulkan refleksi defekasi. Usus bayi yang belum matang biasanya tidak dapat
mentoleransi makanan berserat sampai usianya mencapai beberapa bulan dengan
menstimulasi peristaltic, masa makanan berjalan dengan cepat melalui usus,
mempertahankan feses tetap lunak. Makanan-makanan berikut mengandung serat
jumlah tinggi:
1.
Buah-buahan mentah (apel, jeruk)
2.
Buah-buahan yang diolah
3.
Sayur-sayuran (bayam, kangkung, kubis)
4.
Sayur-sayuran mentah (seledri dan mentimun)
5.
Gandum utuh (sereal, roti)
Mengonsumsi makanan tinggi serat
meningkatkan kemungkinan normalnya pola eliminasi jika faktor lain juga normal.
Makanan yang menghasilkan gas, seperti bawang, kembang kol, dan buncis juga
menstimulasi peristaltic. Gas yang dihasilkan dinding usus berdistensi,
meningkatkan motilitas kolon. Beberapa makanan pedas dapat meningkatkan
peristaltic, tetapi juga dapat menyebabkan pencernaan tidak berlangsung dan
feses menjadi encer. Beberapa jenis makanan, seperti susu dan produk-produk
susu, sulit atau tidak mungkin dicerna oleh beberapa individu. Hal ini
disebabkan oleh intoleransi laktosa. Laktosa, suatu bentuk karbohidrat
sederhana yang ditemukan di dalam susu, secara normal dipecah oleh enzim
laktase. Intoleransi terhadap makanan tertentu dapat mengakibatkan diare,
distensi gas dank kram.
3.
Asupan Cairan
Asupan cairan yang
tidak adekuat atau gangguan yang menyebabkan kehilangan cairan seperti muntah
mempengaruhi karakter feses. Cairan mengencerkan isi usus, memudahkannya
melalui kolon. Asupan cairan yang menurun memperlambat pergerakan makanan yang
melalui usus. Orang dewasa harus minum 6-8 gelas (1400-2000 ml) cairan setiap
hari. Minuman ringan yang hangat dan jus buah memperlunak feses dan
meningkatkan peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah besar dapat memperlambat
peristaltic pada beberapa individu dan menyebabkan konstipasi.
4.
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik
meningkatkan peristaltic, sementara imobilisasi menekan motilitas kolon.
Ambulasi dini setelah klien menderita suatu penyakit dianjurkan untuk
meningkatkan dipertahankannya eliminasi normal. Upaya mempertahankan tonus otot
rangka yang digunakan selam proses defekasi, merupakan hal yang penting.
Melemahnya otot-otot dasar panggul dan abdomen merusak kemampuan individu untuk
meningkatkan tekanan intraabdomen dan untuk mengontrol svingter eksterna. Tonus
otot dapat melemah atau hilang akibat penyakit yang berlangsung dalam jangka
waktu lama atau penyakit neurologis yang merusak transmisi saraf.
5.
Faktor Psikologis
Fungsi dari hampir
semua system tubuh dapat mengalami gangguan akibat stress emosional yang lama.
Apabila individu mengalami kecemasan, ketakutan, atau marah, munculnya respon
stress, yang memungkinkan tubuh membuat pertahanan. Untuk menyediakan nutrisi
yang dibutuhkan dalam upaya pertahanan tersebut, proses pencernaan dipercepat
dan peristaltic meningkat. Efek samping peristaltic yang meningkat antara lain
diare dan distensi gas. Apabila individu mengalami depresi, system saraf otonom
memperlambat impuls saraf dan peristaltic dapat menurun. Sejumlah penyakit pada
saluran GI dapat dikaitkan dengan stress. Penyakit ini meliputi colitis
ulseratif, ulkus lambung, dan penyakit Crohn. Upaya penelitian berlangsung
sejak lama telah gagal membuktikan mitos bahwa penyebab klien mengalami
penyakit tersebut adalah karena memiliki kondisi psikopatologis.
6.
Kebiasaan Pribadi
Kebiasaan eliminais
pribadi mempengaruhi fungsi usus. Kebanyakan individu merasa lebih mudah
melakukan defekasi di kamar mandi mereka sendiri pada waktu yang paling efektif
dan paling nyaman bagi mereka. Jadwal kerja yang sibuk dapat mengganggu
kebiasaan dan mengakibatkan perubahan, seperti konstipasi. Individu harus
mencari waktu terbaik untuk melaksanakan eliminasinya. Refleks gastrokolik adalah
reflex yang paling mudah distimulasi untuk menimbulkan defekasi setelah
sarapan.
Klien yang dirawat di rumah sakit jarang dapat mempertahankan privasi
saat melakukan defekasi. Fasilitas kamar mandi sering kali digunakan
bersama-sama dengan teman sekamarnya, yang kebiasaan higienenya mungkin cukup
berbeda. Penyakit yang diderita klien sering membatasi aktivitas fisiknya dan
ia membutuhkan pispot yang ditempatkan disamping tempat tidurnya.
7.
Nyeri
Dalam kondisi normal,
kegiatan defekasi menimbulkan nyeri. Namun, pada sejumlah kondisi, termasuk
hemoroid, bedah rectum, fistula rectum, bedah abdomen, dan melahirkan anak
dapat menimbulkan rasa tidak nyaman ketika defekasi. Pada kondisi-kondisi
seperti ini, klien sering kali mensupresi keinginannya untuk berdefekasi guna
menghindari rasa nyeri yang mungkin akan timbul. Konstipasi merupakan masalah
umum pada klien yang merasa nyeri selama defekasi.
8.
Kehamilan
Seiring dengan
meningkatnya usia kehamilan dan ukuran fetus, tekanan diberikan pada rectum.
Obstruksi sementara akibat keberadaan fetus mengganggu pengeluaran feses.
Konstipasi adalah masalah umum yang muncul pada trimester terakhir. Wanita
hamil yang sering mengedan selama defekasi dapat menyebabkan terbentuknya
hemoroid yang permanen.
9.
Obat-obatan
Obat-obatan untuk meningkatkan
defekasi telah tersedia. Laksatif dan katartik melunakkan feses dan
meningkatkan peristaltic. Walaupun sama, kerja laksatif lebih ringan daripada
katartik. Apabila digunakan dengan benar, laksatif dan katartik mempertahankan
pola eliminasi normal dengan aman namun, penggunaan katartik dalam jangka waktu
lama menyebabkan usus besar kehilangan tonus ototnya dan menjadi kurang
responsive terhadap stimulasi yang diberikan oleh laksatif. Penggunaan laksatif
yang berlebihan juga dapat menyebabkan diare berat yang dapat menyebabkan
dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Minyak mineral, sebuah laksatif umum,
menurunkan absorpsi vitamin yang larut dalam lemak. Laksatif dapat mempengaruhi
kemanjuran kerja obat lain dengan mengubah waktu transit.
Obat-obatan seperti disiklomin HCl
menekan gerakan peristaltic dan mengobati diare. Beberapa obat memiliki efek
samping yang dapat mengganggu eleminasi. Obat analgesic narkotika menekan
gerakan peristaltic. Opiate umumnya menyebabkan konstipasi. Obat-obatan anti
kolinergik, seperti ateropin, atau glikopirolat, menghambat sekresi asam
lambung dan menekan motilitas GI. Walaupun bermanfaat dalam mengobati gangguan
usus, yakni hiperativitas usus, agens anti kolinegik dapat menyebabkan
konstipasi. Banyak antibiotic menyebabkan diare dengan mengganggu flora bakteri
normal di dalam saluran GI. Apabila diare dan kram abdomen yang terkait dengan
diare semakin parah, obat-obatan yang diberikan kepada klien mungkin perlu
diubah. Intervensi keperawatan yang dapat digunakan untuk mencegah diare
osmotic, yang disebabkan oleh obat-obatan hiperrosmolar telah diuraikan oleh
fruto (tahun 1994).
10.
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic
yang melibatkan visualisai struktur saluran GI, sering memerlukan dikosongkannya
isi di bagian usus. Klien tidak diizinkan untuk makan atau minum setelah tengah
malam jika esoknya akan dilakukan pemeriksaan, seperti pemeriksaan yang
menggunakan barium enema, endoskopi saluran GI bagian bawah, atau serangkaian
pemeriksaan saluran GI bagian atas. Pada kasus penggunaan barium enema atau
endoskopi, klien biasanya menerima katartik dan enema. Pengosongan usus dapat
mengganggu eliminasi sampai klien dapat makan dengan normal.
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan masalah tambahan.
Barium mengeras jika dibiarkan ke dalam saluran GI. Hal ini dapat menyebabkan
konstipasi atau impaksi usus. Seorang klien harus menerima katartik untuk
meningkatkan eliminasi barium setelah prosedur dilakukan. Klien yang mengalami
kegagalan dalam mengevakuasi semua barium, mungkin usus klien perlu dibersihkan
menggunakan enema.
2.3 Perubahan Dalam Eliminasi Fekal
(Normal-Abnormal)
1.
Kontipasi
Kontisipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Kontisipasi adalah
penurunan frekuensi., yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama atau keras
dan kering. Adanya upaya menggedan saat defekasi adalah suatu tanda yang
terkait dengan konisipasi. Ababila motilitas usus halus melambat, maka feses
lebih lama terpapar pada dinding usus dan sebagian besar kandungan air dalam
feses diabsorpsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan untuk melunakkan dan melumasi
feses. Pengeluaran feses yang kering dank eras dapat meimbulkan nyeri pada
rektrum. Setiap individu mempunyai pola deteksi individual yang harus dikaji
perawat. Perlu diingat bahwa tidak setiap orang dewasa memiliki pola defekasi
setiap hari (Ebersole dan Hess, 1994). Defekasi hanya setiap 4 hari atau lebih
dianggap tidak normal (Lueckenotte, 1994). Pola defekasi yang biasanya setiap 2
sampai 3 hari sekali tanpa ada kesulitan, nyeri, atau perdarahan dapat dianggap
normal untuk seorang lansia (Ebersole dan Hess, 1994; Lueckenotte, 1994).
Apabila dalam catatan harian tertulis bahwa frekuensi defekasi mulai menurun,
,maka hal tersebut perlu diperhatikan. Penyebab kontisipasi diringkas dalam
kotak di kiri.
Kontisipasi adalah bahaya yang
signifikan terhadap kesehatan. Mengedan selama defekasi menimbulkan masalah
pada klien yang baru menjalani bedah abdomen, ginekologi, atau bedah rectum. Upaya
untuk mengeluarkan feses dapat menyebabkan jahitan terpisah sehingga luka
terbuka kembali. Selain itu, klien yang memiliki riwayat penyakit
kardiovaskular, penyakit yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokular
(glaucoma), dan prningkatan tekanan intracranial harus mencegah konstipasi dan
hindari penggunaan maneuver valsalva (lihat Bab 32). Menghembuskan napas
melalui mulut selama mengedan dan menghindari maneuver valsalva. Lansia dapat
mengalami kontipasi akibat obat-obatan tertentu yang mereka konsumsi. Beberapa
obat ini antara lain aspirin, anti-histamin, diuretic, obat penenang, hipnotik,
antasid dengan aluminium atau kalsium, dan obat-obatan yang digunakan untuk
mengontrol penyakit Parkinson (Lueckenotte, 1994).
2.
Impaksi
feses merupakan akibat dari kontipasi yang tidak diatasi. Impaksi adalah
kumpulan feses yang mengeras, mengendap di dalam rectum, yang tidak
dikeluarkan. Pada kasus imoaksi berat, massa dapat lebih jauh masuk ke dalam
kolon sigmoid. Klien yang menderita kelemahan, kebingungan, atau tidak sadar
adalah klien yang paling berisiko mengalami impaksi. Mereka terlalu lemah atau
tidak sadar akan kebutuhannya untuk melakukan defekasi.
Tanda impaksi yang jelas ialah
ketidakmampuan untuk mengeluarkan feses selama beberapa hari, walaupun terdapat
keinginan berulang untuk melakukan defekasi. Apabila feses diare keluar secara
mendadak dan kontinu, impaksi harus dicurigai. Porsi cairan di dalam feses yang
terdapat lebih banyak di kolon meresap ke sekitar massa yang mengalami impaksi.
Kehilangan nafsu makan (anoreksia), distensi
dank ram abdomen, serta nyeri di rectum dapat menyertai kondisi impeksi.
Perawat, yang mencurigai adanya suatu impaksi, dapat dengan mantap melakukan
pemeriksaan secara manual yang dimasukkan ke dalam rectum dan mempalpasi masa
yang terimpaksi.
3.
Diare
Diare adalah peningkatan jumlah feses dan peningkatan pengeluaran feses
yang cair dan tidak berbentuk. Diare adalah gejala gangguan yang mempengaruhi
proses pencernaan, absorpsi, dan sekresi di dalam saluran GL. Isi usus terlalu
cepat keluar melalui usus halus dan kolon sehingga absorpsi cairan yang biasa
tidak dapat berlangsung. Iritasi di dalam kolon dapat menyebabkan sekresi
lendir. Akibatnya, feses yang menjadi lebih encer sehingga klien menjadi tidak
mampu mengontrol keinginan untuk defekasi.
Diare seringkali sulit dikaji pada
bayi. Seorang bayi yang menerima susu botol, mengeluarkan feses yang padat
setiap dua hari sekali, sementara bayi yang disusui ibunya dapat mengeluarkan
feses yang lunak dalam jumlah kecil sebanyak 5 sampai 8 kali sehari. Ibu atau
perawat harus memperhatikan adanya peningkatan jumlah feses yang mendadak,
adanya penurunan konsistensi feses yang disertai peningkatan kandungan cairan,
dan kecenderungan feses menjadi agak kehijauan.
Kehilangan cairan karbon yang
berlebihan dapat menyebabkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit serta
asam-basa yang serius. Bayi dan lansia terutama rentan terhadap
komplikasi-komplikasi yang terkait. Karena pengeluaran feses diare secara
berulang juga memaparkan kulit perineum dan bokong pada materi usus
mengiritasi, maka diperlukan perawatan kulit yang sangat cermat untuk mencegah kerusakan
kulit (lihat Bab 38) dan dibutuhkan upaya menahan drainase feses (Bosley, 1994;
Fruto,1994). Banyak kondisi yang menyebabkan diare. Tujuan terapi ialah
menghilangkan kondisi-kondisi yang memicu diare dan memperlambat gerakan
peristaltik.
4.
Inkontinensia
Inkontinensia feses adalah ketidakmampuan mengontrol keluarnya feses dan
gas dari anus. Kondisi fisik yang merusakan fungsi atau control spingter anus
dapat menyebabkan inkontinensia. Kondisi yang membuat seringnya defekasi, feses
encer, volumenya banyak, dan feses mengandung air dan juga mempredisposisi
individu untuk mengalami inkontinensia.
Inkontinensia dapat membahayakan
citra tubuh klien (lihat Bab 23). Dalam banyak situasi, klien secara mental
menyadari tetapi secara fisik tidak mampu mencegah defekasi. Keadaan malu klien
akibat feses yang mengotori bajunya dapat menyebabkan isolasi social. Klien
harus bergantung pada perawat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
5.
Flatulen
Flatulen merupakan
saat gas terakumulasi di dalam lumen usus, dinding usus meregang dan
berdistensi. Flatulen adalah penyebab umum abdomen menjadi penuh, terasa nyeri,
dank ram. Dalam kondisi normal, gas dalam usus keluar melalui mulut
(bersendawa) atau melalui anus (pengeluaran flatus). Namun, jika ada penurunan
motilitas usus akibat penggunaan opiate, agens anestesi umum, bedah abdomen,
atau immobilisasi, flatulen dapat menjadi cukup berat sehingga menyebabkan
distensi abdomen dan menimbulkan nyeri terasa sangat menusuk.
6.
Hemoroid
Hemoroid adalah vena-vena yang berdilatasi, membengkak dilapisan rectum.
Ada dua jenis hemoroid, yakni hemoroid internal atau hemoroin eksternal.
Hemoroid eksternal terlihat jelas sebagai penonjolan kulit, apabila lapisan
vena mengeras, akan terjadi perubahan warna menjadi keunguan. Hemoroid internal
memiliki membrane mukosa di lapisan luarnya. Peningkatan tekanan vena akibat
mengedan saat defekasi, selama masa kehamilan, pada gagal jantung kongestif,
dan penyakit hati kronik dapat menyebabkan hemoroid.
2.4
Deversi fekal
Penyakit tertentu
menyebabkan kondisi-kondisi yang mencegah pengeluaran feses secara normal dari
rektum. Hal ini menimbulkan suatu kebutuhan untuk membentuk suatu lubang
(stoma) buatan yang permanen atau sementara. Lubang yang dibuat melalui upaya
bedah (ostomi) paling sering dibentuk di eleum (eleostomi) atau di kolon
(kolostomi). Ujung usus kemudian ditarik ke sebuah lubang di dinding abdomen
untuk membentuk stoma. Bergantung pada tipe prosedur bedah yang dilakukan,
jenis stoma yang dibentuk ada dua, yakni klien tidak akan memiliki kontrol
terhadap pengeluaran feses. Untuk ostomi inkontinen, stoma ditutupi dengan
sebuah kantung (dilekatan) atau apa yang klien sebut sebagai sebuah kantung.
Bagian-bagian deversi
usus:
1.
Ostomi Inkontinen
Lokasi ostomi
menentukan konsistensi feses. Sebuah ileostomi merupakan jalan pintas keluarnya
feses sehingga feses tidak melalui seluruh bagian usus besar. Akibatnya, feses
keluar lebih sering dan cair juga terjadi pada kolostomi di kolon asenden. Kolostomi
pada kolon transversal umumnya menghasilkan feses yang lebih padat dan
berbentuk. Kolostomi sigmoid menghasilkan feses yang mendekati bentuk feses
normal. Lokasi kolostomi ditentukan oleh masalah medis dan kondisi umum klien.
Terdapat tiga jenis bentuk kolostomi, yaitu:
a. Loop colostomy
Loop colostomy
biasanya dilakukan dalam kondisi kedaruratan medis yang nantinya kolostomi
tersebut akan ditutup. Jenis kolostomi ini biasanya mempunyai stoma yang
berukuran besar, dibentuk di kolon tranversal, dan bersifat sementara. Ahli
bedah menarik sebuah lengkung usus ke atas abdomen. Suatu peralatan penyokong
eksterna, seperti batang plastik atau kateter karet ditempatkan untuk sementara
waktu di bawah lengkung usus untuk mempertahankannya sehingga tidak tergelincir
balik. Ahli bedah kemudian membuka usus dan menjahitnya ke kulit abdomen. Suatu
dinding penghubung tetap berada diantara usus distal dan usus proksimal. Ujung
proksimal mengeluarkan feses sedangkan bagian distal mengeluarkan lendir.
Peralatan penyokong eksternal diangkat dalam 7 sampai 10 hari.
b.
End colostomy
End colostomy terdiri
dari satu stoma, yang dibentuk dari ujung proksimal usus dengan bagian distal
saluran GI dapat dibuang atau dijahit tertutup dan dibiarkan di dalam rongga abdomen.
Pada banyak klien, end colostomy merupakan hasil terapi bedah pada kanker
kolorektal. Pada kasus tersebut, rektum juga mungkin dibuang. Klien yang
menderita divertikulitas dan ditangani melalui upaya bedah seringkali menjalani
end colostomy yang bersifat sementara dengan pembuatan kantung Hartmann
c.
Double-barrel
colostomy
Tindakan seperti loop
colostomy, usus dipontong melalui pembedahan ke dalam bentuk double-barrel
colostomy dan kedua ujungnya ditarik ke atas abdomen. Double- barrel colostomy
terdiri dari dua stoma yang berbeda, stoma proksimal yang berfungsi dan stoma
distal yang tidak berfungsi.
Ostomi yang sering mengeluarkan feses
cair menciptakan suatu tantangan dalam perawatannya. Sebuah kantung harus
selalu dikenakan. Kontrol defekasi tidak dapat dilakukan karena feses yang
encer keluar terus-menerus. Kantung tersebut harus dikosongkan, dicuci, dan
jika sistem ostomi dua-buah kantung digunakan, kantung tersebut harus diganti
sepanjang hari. Perawatan kulit sangatlah penting untuk mencegah kulit terpapar
pada feses yang dapat membuat iritasi.
Kolostomi di kolon sigmoid atau
transversal memerlukan pengosongan kantung yang lebih jarang. Walaupun beberapa
klien mungkin memilih untuk tidak mengenakan kantung sepanjang waktu,
kebanyakan klien yang menjalani kolostomi sigmoid mengenakan kantum sepanjang
waktu walaupun defekasi dapat terjadi hanya satu atau dua kali sehari. Makanan
yang sudah di soleksi dapat dikonsumsi pada interval waktu yang telah
diprogramkan sehingga defekasi timbul pada waktu yang nyaman bagi klien. Dokter
dapata memprogramkan irigasi ostomi yang sama seperti enema untuk klien yang
menjalani kolostomi sigmoid, tranversal, atau kolostomi desenden. Hal ini
memungkinkan individu untuk mengosongkan usus secara teratur dan dapat kembali
mengontrol waktu eliminasi feses dari stoma.
Sejak akhir tahun 1980-an,
pengembangan dan keberhasilan penggunaan sumbat kolostomi menunjukan kemajuan
yang berarti, sumbat ini memungkinkan kontinensia sampai lebih dari 28 jam.
Sistem dua-bagian ini terdiri atas lempengan dasar berperekat yang diletakan
disekitar stoma dan sebuah penyumbat (sumbat) yang lunak, lentur, dengan filter
karbon yang dimasukkan kedalam stoma. Biasanya klien melakukan irigasi sebelum
menginsersi sumbat. Tindakan ini meningkatkan lamanya waktu kontinensia feses
yang dimiliki klien. Sumbat biasanya tidak digunakan oleh klien yang sering
mengalami kram abdomen, memiliki feses ostomi yang encer, dan mengeluarkan gas
secara berlebihan.
2. Ostomi Kontinen
Tipe pembedahan
tertentu memungkinkan kontinensia pada klien tertentu yang mengalami kolektomi
(pengangkatan kolon). Ostomi kontien ini juga disebut diversi kontien atau
reservoir kontinen. Pada sebuah prosedur yang disebut ileoanal pull-through,
kolon diangkat dan ileum dianastomosis atau disambungkan ke sfingter anus yang
utuh. Tidak setiap klien yang menjalani kolektomi merupakan kandidat untuk
dilakukannya prosedur ini. Untuk menentukan kriteria pilihan, dibutuhkan
koordinasi yang baik antara klien dan ahli bedah.
Beberapa prosedur bedah terbaru yang didasarkan pada upaya ileoanal
pull-thruogh adalah reservoar ileoanal. Reserveoar ileoanal juga disebut
proktokolektomi restorasi, anastomosis kantong ileum-anus, atau kantong pelvis.
Pada prosedur ini, klien tidak memiliki stoma eksterna yang permanen dan dengan
demikian tidak perlu mengenakan kantong ostomi. Klien menggunakan kantong
interna yang berasal dari ileumnya. Kantong ileum ini dapat dibangun dalam
berbagai bentuk, seperti bentuk lateral, S, J, atau W. ujung kantung kemudian
dijahit atau dianastomosis ke anus. Pembedahan dilakukan dalam berbagai tahapan
dan klien dapat mempunyai ostomi yang bersifat sementara sampai kantong ileum
yang dibentuk melalui upaya bedah telah pulih. Apabila proses pemulihan sudah
terjadi dan klien telah berhasil mempelajari latihan kegel untuk menguatkan
dasar panggulnya, ostomi yang bersifat sementara diangkat. Kemudian klien
defekasi hanya dari daerah anus. Asuhan keperawatan untuk klien yang
mendapatkan reservoar ileoanal harus berfokus pada dukungan emosional,
perawatan kulit perianal, penggunaan obat-obatan, melatih kembali sfingter, dan
mengenali komplikasi dengan cepat.
Ileostomi kontinek kock adalah tipe ostomi kontinen lain yang baru. Pada
prosedur ini resevoar atau kantung internal dibentuk dari potongan usus halus
klien. Bagian kantung fitarik keluar ke abdomen klien sebagai sebuah stoma
enternal. Tidak seperti stoma ostomi lainnya, stoma eksternal dari ileostomi
kontinen Kock biasanya terletang sangat rendah pada abdomen klien, biasanya di
bawah garis celana dalam klien. Pada bagian ujung kantung internal terdapat
tonjolan katup satu arah, yang memungkinkan percapaian kontinensia. Katup ini
hanya memungkinkan fungsi feses keluar dari kantung jika kateter eksterna
ditempatkan didalam stoma secara intermiten. Karena kandunngan feses hanya
dikeluarkan dari kantung Kock jika diintubasi dengan kateter, tidak seperti
individu lain yang menggunakan ostomi, klien tidak perlu mengenakan sebuah
kantung ostomi. Asuhan keperawatan pada klien yang menggunakan reservoar Kock
berfokus pada upaya memberi dukungan emosional, mengajarkan teknik intubasi
mandiri menetapkan suatu jadwal intubasi, penyuluhan tentang makanannya, dan
mengenali komplikasi.
2.5 Teknik dan Prosedur Pelaksanaan Asuhan
Keperawatan Untuk Memenuhi Kebutuhan Eliminasi
1. Prosedur membantu BAB
a.
BHSP (bina hubungan saling percaya)
b.
Jelaskan tujuan dan prosedur kepada pasien.
c.
Bawa alat ke dekat pasien.
d.
Tutup pintu dan jendela dan pasang sampiran.
e.
Cuci tangan, pakai schort, memakai sarung
tangan bersih dan berdiri di sisi klien
f.
Pasang selimut mandi dan turunkan selimut
pasien.
g.
Tinggikan tepi tempat tidur untuk mencegah
pasien jatuh.
h.
Minta klien untuk mengangkat bokongnya atau
miring ( bila perlu dibantu perawat )
lalu bentangkan perlak dan alasnya.
i.
Buka pakaian pasien bagian bawah.
j.
Anjurkan klien untuk berpegangan di bawah /
bagian belakang tempat tidur sampai menekuk lutut sambil diikuti dengan
mengangkat bokong kemudian pasang pispot perlahan-lahan
k.
Jika pasien pria, pasang urinal untuk BAK.
l.
Pastikan bahwa sprei dan stik laken tidak
terkena.
m. Tinggalkan pasien dan
anjurkan untuk membunyikan bell jika sudah selesai atau memberi tahu perawat.
n.
Jika sudah selesai, tarik atau ambil pispot
dan letakkan lengkap dengan tutupnya di atas kursi atau meja dorong.
o.
Bersihkan daerah perianal dengan tisu (untuk
pasien wanita, bersihkan mulai dari uretra sampai dengan anus untuk mencegah
perpindahan mikroorganisme dari rectal ke saluran kemih) kemudian buang tissue
ke dalam pispot.
p.
Gunakan waslap untuk mencuci daerah perianal
dengan air sabun.
q.
Bilas dengan air bersih.
r.
Keringkan daerah perianal dengan handuk.
s.
Angkat alas bokong.
t.
Kembalikan posisi pasien seperti semula.
u.
Kenakan kembali pakaian bawah pasien.
v.
Angkat selimut mandi dan sekaligus menarik
selimut pasien ke atas.
w. Ganti linen (jika
kotor karena terkena feses atau urine).
x.
Rapikan pasien
y.
Buka sampiran, pintu dan jendela.
z.
Jika perlu beri pengharum ruangan.
aa. Bersihkan pispot.
bb.
Cuci tangan.
cc. Dokumentasikan warna,
bau, feses, urine, dan konsistensi feses serta catat kondisi daerah perianal.
2. Alat dan Bahan
Baki berisi :
- Pengalas
- Pispot dan tutupnya
- Pasang tempat penampung urine untuk
pasien laki-laki
- Air bersih dalam botol
- Tissue/ka[as cebok
- Sampiran
- Selimut mandi
- APD (scoot,masker,handscoon)
- Pinset
- Piala ginjal/bengkok
BAB III
PENUTUP
3.1
SIMPULAN
Dalam menangani
masalah eliminasi Fekal, Perawat harus memahami dan mengetahui anatomi dan
fisiogi organ-organ eliminasi, factor yang mempengaruhi eliminasi, kelainin
dari eliminasi fekal, dan prosedur tindakannya. Dan Tindakan yang dirancang
untuk meningkatkan eliminasi normal juga harus meminimalkan rasa ketidak nyamanan.
3.2
SARAN
Dengan terselesainya
makalah ini, diharapkan para pembaca mengetahui cara prosedur Membantu
Menggunakan Pispot Atau Membantu Pasien BAB di atas tempat tidur. Dan Bagi para
pembaca diharapkan kritik dan sarannya agar makalah ini lebih baik dan
memberikan motivasi kepada penulis
Comments
Post a Comment